LAPORAN PRAKTIKUM
TEKNOLOGI FITOFARMASETIKA
PENGUJIAN HASIL EKSTRAKSI SAMBILOTO ( Andrographis paniculata) DENGAN METODE MASERASI, INFUNDASI, PERKOLASI DAN EKSTRAK TERPURIFIKASI HASIL MASERASI
Disusun oleh :
Nove Ariska (FA/08146)
Allisya Swastika NSP (FA/08158)
Toga Laksana (FA/08159)
Asisten jaga : Indah & Saroh
Dosen jaga : Sri Mulyani, S.U., Apt.
LABORATORIUM TEKNOLOGI FITOFARMASETIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2011
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alamnya. Dimana sumber daya alam tersebut sebagian besar berkhasiat sebagai obat.
Pada abad ke-19 zaman kolonial Belanda sudah mulai memberi sentuhan ilmiah terhadap beberapa jenis tumbuhan obat ini baik di segi penanaman maupun di segi penelitian kandungan dan khasiatnya. Tentunya dengan tujuan untuk memperluas perdagangannya. Diantaranya adalah sambiloto, sambiloto sangat luas penggunaannya sebagai obat tradisional (Arifin & Kardiyono, 1985).
Dari ribuan jenis tanaman di Indonesia yang berkhasiat, sambiloto merupakan salah satu tumbuhan obat yang sangat luas penggunaannya di dalam pengobatan tradisional. Memasuki abad ke-21 sebagai era globalisasi, perkembangan teknologi dan bentuk pemanfaatan tumbuhan obat di Indonesia dalam pelayanan kesehatan sudah mengenal serta menggunakan konsep ekstrak (Anonim, 2000).
Menurut perkembangannya, saat ini obat tradisional Indonesia dibagi menjadi dua kelompok yakni obat kelompok jamu dan obat kelompok fitoterapi (fitofarmaka). Dimaksud dengan bahan tradisional kelompok jamu adalah obat dari bahan alam yang khasiatnya masih didasarkan pada pengalaman, dan bahan bakunya terdiri dari simplisia atau sediaan galenik yang umumnya belum memenuhi persyaratan minimal yang ditetapkan, dengan kata lain suatu obat tradisional dinyatakan sebagai jamu bila bukti ilmiah tentang khasiat serta pemenuhan mutu farmasetisnya belum ditegaskan, karenanya, dapat dimengerti bila pemanfaatan jamu sebagai sarana pengobatan dalam sistem pelayanan kesehatan formal, tidak dapat diterima (Donatus, 1992).
Berdasarkan atas kenyataan diatas, seak tahun 1984, Dep-Kes telah menetapkan kebijaksanaan baru, yakni mendorong pengembangan obat tradisional Indonesia, utamanya yang bersifat kuratif, ke arah obat tradisional kelompok fitofarmaka. Untuk itu, dalam upaya pengembangan pedoman uji kemanfaatan fitofarmaka tersebut, selanjutnya fitofarmaka ditakrifkan (didefinisikan) sebagai sediaan obat dari bahan alam, terutama dari alam nabati yang telah jelas khasiatnya dan bahan bakunya terdiri dari simplisia/sediaan galenik yang telah memenuhi persyaratan minimal, sehingga terjamin keseragaman komponen aktif, keamanan dan kegunaannya (Anonim, 1985). Jadi suatu obat tradisional dapat dinyatakan sebagai fitofarmaka, bila bukti ilmiah tentang khasiat dan keamanannnya telah ditegaskan melalui serangkaian uji praklinik maupun uji klinik baku. Selain itu, bukti pemenuhan terhadap persyaratan mutu farmasetisnya pun telah ditegaskan. Artinya, keseragaman komponen aktifnya telah dibakukan memenuhi persyaratan minimal, paling tidak sesuai dengan yang tertera dalam Farmakope, Ekstra Farmakope, atau Materia Medika Indonesia (Donatus, 1992).
Pada obat-obat tradisional pada umumnya belum diketahui pasti zat aktif yang berperan mendukung khasiat yang ada. Walaupun terdapat suatu alternatif dapat dipakai sebagai zat identitas dalam penentuan kualitas bahan baku maupun produk akan tetapi adanya kerumitan pada bahan tradisional masih menjadi kendala pada penentuan kualitas. Kerumitan suatu peroduk disamping ditentukan oleh banyaknya komponen bahan dalam ramuan, ditentukan pula dari masing masing komponen penyusunnya (Sudarsono, 1995).
Memperhatikan potensi khasiat senyawa - senyawa yang terdapat pada sambiloto dan hasil - hasil penelitian tentang manfaatnya, sambiloto dapat dikembangkan ke arah fitofarmaka untuk meningkatkan kesehatan dan pencegahan penyakit.
- Tinjauan Pustaka
1. Uraian tentang sambiloto (Andrographis paniculata)
Sambiloto banyak di emukan di daratan Asia. Selain di Indonesia, sambiloto juga terdapat di India, Filipina, Vietnam dan Malaysia. Sambiloto tumbuh liar di tempat terbuka, seperti di kebun, tepi sungai, tanah kosong yang agak lembab, atau di pekarangan. Tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian 700 m diatas permukaan laut (Anonim , 2009).
a. Sistematika
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospmerae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Scrophulariales
Suku : Acanthaceae
Marga : Andrographis
Spesies : Andrographis paniculata
b. Morfologi
Sambiloto merupakan tanaman semak yang mempunyai banyak cabang yang berdaun dan tingginya bisa mencapai kurang lebih 50 - 90 cm. Daun sambiloto kecil - kecil berwarna hijau tua, berdaun tunggal, bertangkai pendek, letak berhadapan bersilang, bentuk lanset, pangkal runcing, ujung meruncing, tepi rata, permukaan atas hijau tua, bagian bawah hijau muda, panjang 2 - 8 cm, lebar 1 - 3 cm. Batang disertai banyak cabang berbentuk segi empat (kwadrangularis) dengan nodus yang membesar (Anonim, 2009).
Perbungaan rasemosa yang bercabang membentuk malai, keluar dari ujung batang atau ketiak daun. Bunga berbibir berbentuk tabung, kecil - kecil, warnanya putih bernoda ungu. Buah kapsul berbentuk jorong, panjang sekitar 1,5 cm dan lebar 0,5 cm, pangkal dan ujung tajam, bila masak akan pecah mernbujur menjadi 4 keping biji gepeng, kecil - kecil, warnanya cokelat muda (Anonim,2009).
Sambiloto juga dapat berkembang biak sepanjang tahun, dengan biji maupun dengan cara stek batang. Perbanyakan dengan stek batang juga relatif mudah dilakukan. Caranya, pilihlah batang yang agak tua yang memiliki daun sekitar 10 helai. Batang tersebut dipotong sepanjang kurang lebih 20 cm lalu ditancapkan ke tanah di tempat teduh. Hanya dalam waktu sekitar satu bulan, tanaman sambiloto sudah mulai di penuhi daun muda. Bagian yang biasa digunakan untuk obat tradisional adalah daunnya yang rasanya sangat pahit. Sebenarnya selain daunnya, batang, bunga dan bagian akar juga bermanfaat obat (Anonim, 2009).
Sambiloto juga dapat berkembang biak sepanjang tahun, dengan biji maupun dengan cara stek batang. Perbanyakan dengan stek batang juga relatif mudah dilakukan. Caranya, pilihlah batang yang agak tua yang memiliki daun sekitar 10 helai. Batang tersebut dipotong sepanjang kurang lebih 20 cm lalu ditancapkan ke tanah di tempat teduh. Hanya dalam waktu sekitar satu bulan, tanaman sambiloto sudah mulai di penuhi daun muda. Bagian yang biasa digunakan untuk obat tradisional adalah daunnya yang rasanya sangat pahit. Sebenarnya selain daunnya, batang, bunga dan bagian akar juga bermanfaat obat (Anonim, 2009).
c. Nama daerah
Sumatera : Pepaitan
Jawa : Ki oray, Ki peurat, Takilo (Sunda); Bidara, Sadilata, Sambilata, Takila (Jawa) (Anonim, 1979)
d. Kegunaan
Berbagai penelitian yang dilakukan baik di dalam maupun di luar negeri, menemukan bahwa di balik rasa pahit sambiloto, terkandung zat aktif androgapholid yang sangat bermanfaat untuk pengobatan. India juga sudah lama mengenal tanaman obat ini, bahkan sambiloto digunakan untuk memerangi epidemi flu di India pada tahun 1919 dan terbukti efektif sehingga sambiloto mendapat julukan the “Indian Echinacea” .Di Cina, sambiloto sudah diuji klinis dan terbukti berkhasiat sebagai anti hepapatoksik (anti penyakit hati). Di Jepang, sedang dijajaki kemungkinan untuk memakai sambiloto sebagai obat HIV, dan di Skandinavia, sambiloto digunakan untuk mengatasi penyakit - penyakit infeksi.
e. Kandungan kimia
Daun dan percabangannya mengandung laktone yang terdiri dari deoksiandrografolid, andrografolid (zat pahit), neoandrografolid, 14-deoksi-11-12-didehidroandrografolid, dan homoandrografolid. Juga terdapat flavonoid, alkane, keton, aldehid, mineral (kalium, kalsium, natrium), asam kersik, dan damar. Flavotioid diisolasi terbanyak dari akar, yaitu polimetoksiflavon, andrografin, panikulin, mono-0- metilwithin, dan apigenin-7,4- dimetileter. Zat aktif andrografolid terbukti berkhasiat sebagai hepatoprotektbr (melindungi sel hati dari zat toksik).
2. Maserasi
Maserasi merupakan cara ekstraksi yang digunakan dengan merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Keuntungan dari cara ini adalah cara pengerjaan dan peralatannya sederhana, meskipun demikian ada juga kerugiannya, yaitu waktu pengerjaannya relatif lama dan kurang sempurna (Anonim, 1986). Maserasi merupakan cara yang paling sederhana kerena simplisia yang telah diserbukkan dengan derajat halus tertentu hanya perlu direndam dalam cairan penyari selama waktu yang ditentukan dalam suatu wadah yang terlindung dari sinar matahari untuk menghindari terjadinya reaksi yang dikatalisis oleh cahaya dan juga untuk menghindari terjadinya perubahan warna (Voight, 1994).
Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol atau pelarut lain. Apabila cairan penyari digunakan air maka untuk mencegah timbulnya kapang, dapat ditambahkan bahan pengawet yaitu nipagin yang diberikan pada awal penyarian (Anonim, 1986). Hasil penyarian dengan cara maserasi perlu dibiarkan selama waktu tertentu. Waktu tersebut diperlukan untuk mengendapkan zat-zat yang tidak diperlukan tetapi ikut ke dalam cairan penyari seperti malam (Anonim, 1986).
3. Perkolasi
Perkolasi adalah cara penyarian yang dilakukan dengan mengalirkan cairan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi ( Anonim, 1986 ). Pembasahan serbuk sebelum dilakukan penyarian dimaksudkan untuk memberi kesempatan sebesar - besarnya kepada cairan penyari memasuki seluruh pori - pori dalam simplisia sehingga mempermudah penyarian selanjutnya. Alat yang digunakan untuk perkolasi disebut perkolator. Cairan yang digunakan untuk menyari disebut cairan penyari atau menstrum. Larutan zat aktif yang keluar dari perkolator disebut sari atau perkolat, sedangkan sisa setelah dilakukannya penyarian disebut ampas atau sisa perkolasi.
Prinsip penyarian dengan cara perkolasi adalah : Serbuk simplisia ditempatkan dalam suatu bejana silinder, yang bagian bawahnya diberi sekat berpori. Cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut, cairan penyari akan melarutkan zat aktif sel - sel yang dilalui sampai mencapai keadaan jenuh. Gerak ke bawah disebabkan olek kekuatan gaya beratnya sendiri dan cairan atasnya, dikurangi dengan daya kapiler yang cenderung untuk menahan. Kekuatan yang berperan pada perkolasi antara lain : gaya berat, kekentalan, daya larut, tegangan permukaan, difusi, osmosa, adhesi, daya kapiler dan gaya geseran ( friksi ). Bentuk perkolator ada 3 macam yaitu perkolator berbentuk tabung, perkolator berbentuk paruh dan perkolator berbentuk corong. Pemilihan perkolator ini tergantung pada jenis serbuk simplisia yang akan disari.
4. Infundasi
Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia dengan air pada suhu 90º C selama 15 menit. Infundasi adalah proses penyarian yang umumnya digunakan untuk menyari zat aktif yang larut dalam air. Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh kuman dan kapang. Oleh sebab itu sari yang diperoleh dengan cara ini tidak boleh disimpan leih dari 24 jam.
Cara ini sangat sederhana dan sering digunakan untuk perusahaan obat tradisional. Dengan beberapa modifikasi cara ini sering dipergunakan untuk membuat ekstrak. Infuse dibuat dengan cara : membasahi bahan dengan air dengan 2 kali bobot bahan. Untuk bunga 4 kali bobot bahan, dan untuk karagenan 10 kali bobot bahan. , kemudian bahan baku ditambah air dan dipanaskan selama 15 menit. Pada suhu 90º C - 98º C. Umumnya untuk 100 bagian sari diperlukan 10 bagian bahan. Pada simplisia tertentu tidak 10 bagian, hal ini disebabkan karena, kandungan simplisia kelarutannya terbatas, disesuaikan dengan cara pengobatan., berlendir (misal karagenan), daya kerjanya keras (misal digitalis folium). Untuk memindahkan penyarian kadang - kadang perlu ditambahkan bahan kimia misalnya : asam sitrat (untuk infusa kina), kalium atau natrium karbonat (untuk infusa kelembak). Penyaringan dilakukan saat cairan masih panas, kecuali bahan yang mudah menguap (misal minyak atsiri).
5. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Densitometri
Ada 4 teknik kromatografi yang digunakan untuk pemisahan dan pemurnian kandungan tumbuhan atau biasa juga dilakukan dengan gabungan dari empat teknik tersebut. Keempat teknik kromatrografi tersebut yaitu kromatografi kertas, kromatografi lapis tipis, kromatografi gas cair, dan kromatografi kinerja tinggi (Harborne, 1989). Diantara berbagai jenis teknik kromatografi, kromatografi lapis tipis (KLT) adalah yang paling cocok untuk analisis obat di laboratorium farmasi karena hanya memerlukan investasi yang kecil untuk perlengkapan, waktu analisis relatif singkat, jumlah cuplikan yang diperlukan sedikit, selain itu kebutuhan ruang minimum serta penanganannya sederhana (Stahl, 1985).
Penggunaan KLT biasa untuk tujuan uji kualitatif dapat menggunakan pereaksi kimia atau sinar ultraviolet atau gabungan keduanya. Untuk deteksi dengan sinar ultraviolet harus dilakukan dalam ruang gelap atau tertutup kain hitam agar lebih jelas dan tidak akan menyebabkan kerusakan pada mata (Soemarno, 2001). KLT yang dimaksudkan untuk uji kualitatif salah satunya dengan meggunakan densitometer sebagai alat pelacak bila cara penotolannya dilakukan secara kuantitatif. Prinsip kerja dari densitometer adalah adanya pelacakan pada panjang gelombang maksimal yang telah ditetapkan sebelumnya. Scanning atau pelacakan densitometer ada dua metode yaitu dengan cara memenjang dan system zigzag. Pada umumnya lebih banyak digunakan metode zigzag karena pengukurannya lebih merata serta ketelitiannya lebih terjamin dibanding pengamatan secara lurus atau memanjang (Soemarno, 2001).
- Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dirumuskan beberapa masalah yaitu :
1. Bagaimana metode ekstraksi suatu simplisia yang baik dan bagaimana kontrol kualitasnya?
2. Metode ekstraksi yang manakah yang menghasilkan andrografolid paling tinggi?
3. Metode ekstraksi yang manakah yang paling baik untuk mendapatkan kadar andrographolid yang paling optimal.
D. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami bagaimana cara mengekstraksi suatu simplisia dan cara melakukan kontrol kualitas yang baik.
2. Mengetahui metode ekstraksi yang dapat menghasilkan kadar andrografolid yang paling tinggi.
3. Mengetahui metode yang tepat untuk mendapatkan kadar andrographolid yang paling optimal.
BAB II
METODOLOGI
- Alat dan Bahan
- Maserasi
Alat : bejana untuk maserasi, alat-alat gelas, kertas saring, penangas air, kipas angin, pengaduk.
Bahan : serbuk sambiloto 500 g, etanol 96 %
- Perkolasi
Alat : Tabung perkolasi, alat-alat gelas, kertas saring, penangas air, kipas angin, pengaduk, corong plastik, kapas.
Bahan : serbuk sambiloto 100 g, etanol 96 %
3. Infundasi
Alat : Panci infundasi, kain flannel, penangas air, kipas angin, vortex.
Bahan : serbuk sambiloto 44,99 g, etanol 96 %
4. Ekstrak terpurifikasi
Alat : Erlenmeyer, penangas air, kipas angin
Bahan : ekstrak kental hasil maserasi 10 g, Hexan
5. Profil KLT
Alat: chamber, densitometer (Dual Wavelength Chromatoscanner Shimadzu CS-930 digabungkan dengan data recorder Shimadzu Type DR-2), mikropipet, flakon.
Bahan: fase diam: silika gel GF 254, fase gerak : Kloroform : Metanol ( 9 : 1 ), pembanding : Andrografolid.
- Cara Kerja
- Ekstraksi simplisia
a. Maserasi
500 gram serbuk sambiloto
Masukkan ke bejana, tuangi dengan cairan penyari 2,5 L
Tutup dan biarkan 5 hari terlindungi dari cahaya, sambil berulang-ulang diaduk setiap hari
Setelah 5 hari, serkai, ampas diperas
Ampas ditambah cairan penyari lagi secukupnya diaduk dan diserkai hingga 750 ml
Bejana ditutup, biarkan di tempat sejuk & terlindungi dari cahaya selama 2 hari, jangan diaduk, pisahkan endapan dari filtrat
Filtrat Endapan
Ekstrak diuapkan diatas penangas
Air dengan bantuan kipas angin sampai kental
Timbang
Hitung rendemen
b. Ekstrak terpurifikasi
10 gram ekstrak kental hasil maserasi
Masukkan ke dalam erlenmeyer
Tambahkan 200 ml hexan
Vortex selama 15 menit
Saring, tambahkan pelarut lagi sampai bening
Catat volume penambahan pelarut
Uapkan filtrat hingga diperoleh ekstrak kental
Hitung Rendemen
c. Perkolasi
100 gram serbuk sambiloto dibasahi dengan 50 ml cairan penyari lalu dimasukkan bejana tertutup selama 3 jam
Siapkan Perkolator bersih, bagian bawah diberi kapas dan kertas saring
Massa dipindahkan sedikit demi sedikit ke dalam perkolator
sambil ditekan hati-hati, tambahkan kertas saring diatasnya
Tuangi cairan penyari, perkolator ditutup dan biarkan selama 24 jam
Cairan dibiarkan menetes dengan kecepatan 1 ml/menit dan tambahkan berulang-ulang cairan penyari secukupnya sehingga selalu terdapat selapis cairan penyari di atas serbuk
Perkolat yang keluar ditampung hingga 80 ml, sisihkan
Dilanjutkan hingga 500 ml perkolat yang terakhir diuapkan tidak meninggalkan sisa, perkolasi dihentikan
Perkolat yang diperoleh selanjutnya diuapkan dengan penguangan tekanan hingga tinggal 20 ml, dicampur dengan perkolat pertama
½ bagian masukan ke botol tertutup ½ bagian uapkan hingga kental
Timbang
Hitung Rendemen
d. Infundasi
44,99 gram bahan ,masukkan kedalam panci A, tambah 1L aquadest
Panci bag. Bawah ( B ) ditambah air ledeng, hingga panci A terendam sebagian, lalu tutup panci A
Panaskan selama 15 menit, dihitung mulai suhu didalam panci A mencapai 90oC ( panci B mendidih sesekali diaduk )
Diserkai selagi panas melalui kain flanel
Infusa diuapkan diatas penanangas air dengan bantuan kipas angin
Timbang ekstrak kental
½ bag. Ekstrak kental ditambah 5 bag. Etanol 96%
Divortex selama 15 menit, kemudian disaring
Lakukan berulang – ulang hingga filtrat yang diperoleh tidak berwarna lagi
Kumpulkan filtrat yang diperoleh, lalu diuapkan lagi sampai diperoleh ekstrak kental
Timbang ekstrak kental yang diperoleh dan hitung rendemen ekstrak kental tersebut.
- Kontrol Kualitas Ekstrak
a. Rendemen
Rendemen (%) =
b. Organoleptis : warna, bau, rasa dan konsistensi
c. Susut pengeringan
Timbang 1 gram ekstrak kental
Masukkan ke dalam botol timbang yang sudah memenuhi bobot tetap (dipanaskan pada suhu 105oC selama 30 menit)
Sebelum ditimbang, ekstrak diratakan dalam botol timbang, dengan menggoyangkan botol hingga merupakan lapisan setebal lebih kurang 5-10 m
Masukkan dalam ruang pengering, buka tutupnya, keringkan pada suhu 105oC selama 5 jam
Setelah 5 jam ekstrak dikeluarkan dan didinginkan dalam eksikator, selanjutnya ditimbang kembali
Pengerjaan dilakukan setiap kali dengan lama pemanasan 30 menit sampai tercapai bobot tetap konstan (selisih 2 kali penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 0,25%)
Dihitung susut pengeringannya
d. Profil KLT
100 mg ekstrak dilarutkan dengan 5 ml etanol 96%
Vortex hingga larut
Totolkan 2 µl pada fase diam yang sesuai
Kembangkan dengan fase gerak pada bejana yang telah dijenuhkan sebelumnya
Sistem kromatografi yang digunakan :
Fase diam : Silika gel F254
Fase gerak : Kloroform : Metanol (9:1)
Pembanding : Andrografolid standar (2mg/2,5ml ; 1mg/2,5ml ; 0,5mg/2,5ml)
Sampel : 50mg/ml (2 µl)
Deteksi : Tampak, UV254, Uv366, densitometer
BAB III
DATA PERCOBAAN DAN PERHITUNGAN
- Rendemen Ekstrak Sambiloto
Rendemen (%) =
a. Maserasi
Berat serbuk awal(g) | Berat ekstrak kental(g) | Rendemen |
500 | 16,43 | 3,286% b/b |
Perhitungan :
Rendemen : b/b
b. Perkolasi
Berat serbuk awal(g) | Berat ekstrak kental(g) | Rendemen |
100 | 3,4 | 3,4 % b/b |
Perhitungan :
Rendemen : b/b
c. Infundasi
Berat serbuk awal(g) | Berat ekstrak kental(g) | Rendemen |
44,99 | 13,56 | 30,14 % b/b |
Perhitungan :
Rendemen : b/b
d. Ekstrak terpurifikasi
Ekstrak awal(g) | Berat ekstrak kental(g) | Rendemen |
10,00 | 1,6 | 16 % b/b |
Perhitungan :
Rendemen : b/b
- Susut Pengeringan
a. Penaraan bobot botol timbang
Metode | Pemanasan ke | Bobot awal (g) | Bobot tetap akhir (g) | Selisih (%) |
Maserasi I | 1 | 18,0546 | 18,0501 | 0,02 |
Maserasi II | 1 | 17,7303 | 17,7268 | 0,0019 |
Infundasi I | 1 | 19,3375 | | |
2 | 19,3340 | 19,3327 | 0,007 | |
Infundasi II | 1 | 18,0965 | | |
2 | 18,0903 | 18,0899 | 0,002 |
b. Bobot botol timbang dan ekstrak sebelum dipanaskan
Metode | Bobot botol timbang + Ekstrak (gram) | Bobot Ekstrak (gram) |
Maserasi I | 19,0501 | 1,0000 |
Maserasi II | 18,7268 | 1,0000 |
Infundasi I | 20,3328 | 1,0000 |
Infundasi II | 19,0965 | 1,0067 |
c. Bobot tetap ekstrak
Metode | Perlakuan | Bobot wadah + simplisia | Bobot Wadah | Bobot Simplisia Awal (gram) | Susut pengeringan (%) |
Infundasi I | Bobot awal (g) | 20,3328 | 19,3327 | 1,0067 | |
Pemanasan I (g) | 19,9824 | | |||
Pemanasan II (g) | 19,9804 | | |||
Pemanasan III (g) | 19,9779 | 35,91 | |||
Infundasi II | Bobot awal (g) | 19,0965 | 18,0899 | 1,0000 | |
Pemanasan I (g) | 18,5846 | | |||
Pemanasan II (g) | 18,7336 | | |||
Pemanasan III (g) | 18,7335 | 35,64 | |||
Maserasi I | Bobot awal (g) | 19,0501 | 18,0501 | 1,0000 | |
Pemanasan I (g) | 18,9145 | | |||
Pemanasan II (g) | 18,9164 | | |||
Pemanasan III (g) | 18,9159 | 13,42 | |||
Maserasi II | Bobot awal (g) | 18,7268 | 17,7268 | 1,0000 | |
Pemanasan I (g) | 18,5832 | | |||
Pemanasan II (g) | 18,5846 | | |||
Pemanasan III (g) | 18,5841 | 14,27 |
- Penentuan Kadar Andrografolid
Profil KLT :
Fase diam : Silika gel F254
Fase gerak : Kloroform : Metanol (9:1)
Sampel : Sambiloto
Pembanding : Andrografolid standar (2mg/2,5ml ; 1mg/2,5ml ; 0,5/2,5ml)
Jarak pengembangan : 8 cm
Deteksi : Tampak, UV254, Uv366, densitometer
Gambar KLT :
Tampak UV 254
UV 366 nm
P ET M 0,5 1 2 Inf EK Cam
Kromatogram
No | Rf | Warna sebelum disemprot | ||
Tampak | UV 254 | UV 366 | ||
1 | 0,2 | - | ungu | - |
0,75 | kuning | ungu | ungu | |
0,875 | - | ungu | ungu | |
2 | 0,375 | - | ungu | - |
0,625 | - | Ungu | ||
0,85 | kuning | Kuning | ungu | |
3 | 0,625 | - | ungu | - |
0,6875 | - | kuning | - | |
0,775 | kuning | Ungu | ungu | |
0,8125 | - | ungu | - | |
4 | 0,475 | - | ungu | - |
5 | 0,475 | - | Ungu | - |
6 | 0,475 | - | Ungu | - |
7 | - | - | - | - |
8 | - | - | - | - |
9 | 0,5625 | - | kuning | hijau |
0,6875 | Kuning | Kuning | hijau | |
0,75 | kuning | Kuning | kuning | |
0,875 | kuning | - | - | |
0,85 | - | Ungu | - |
Leave a reply
0 Comments to "Praktikum Fitofarmasetika 1"